Senin, 16 Maret 2009

FENOMENA INUL DAN PENDIDIKAN TINGGI

KOMPAS, 5/5/03
FENOMENA INUL DAN PENDIDIKAN TINGGI
Respons terhadap tulisan W. D. Widodo
Sofian Effendi*
Gara-gara berdangdut dengan goyangan ngebornya yang hot dan asyiik, Inul Daratista
menjadi satu-satunya penyayi dangdut yang masuk dalam Newsweek dan Times. Jarang
orang lain mampu mencapai record seperti itu. Ketika saya membaca tulisan Winarso
Dradjat Widodo, Ph.D. di Kompas edisi 1 Mei, saya jadi berfikir, apakah UGM sedang
mengalami fenomena Inul? Fikiran ini muncul karena seorang ilmuwan, pemegang gelar
Doctor of Philosophy, melakukan seperti yang dibuat Oma Irama pada Inul, “menuduh”
bahwa UGM dan beberapa PTN telah menyebabkan pendidikan tinggi mahal dan
sekaligus amburadul. Tuduhan tersebut sangat tidak beralasan dan mengandung
kelemahan logika.
Saya menemukan paling tidak ada 5 logical fallacies dalam tulisan tersebut. Pertama,
penulis menganggap uniformitas adalah lebih baik dari suatu yang mandiri. Di atas
landasan logika tersebut penulis menyimpulkan bahwa sistem penerimaan mahasiswa
yang diikuti oleh banyak PT – seperti UMPTN dan SPMB – akan lebih memperbesar
peluang para lulusan SLTA untuk diterima di PT. Kita semua tahun bahwa realitasnya
bukan demikian, karena ada rayonisasi dalam pelaksanaan ujian masuk bersama emacam
itu. Kedua, penulis berargumentasi, dengan silogisme yang keliru, bahwa penerimaan
calon mahasiswa akan lebih ditentukan oleh “kesanggupan membayar biaya pendidikan”.
Hanya dari membaca Butir Keempat dari pengumuman publik UGM tentang UM-UGM,
serta merta penulis menyimpulkan bahwa keputusan UGM akan lebih ditentukan oleh
besarnya sumbangan yang dicantumkan oleh calon mahasiswa. Kesimpulan penulis
tersebut amat misleading dan dapat menebarkan bibit-bibit kecurigaan di masyarakat kita
yang oleh Francis Fukuyama dipandang memiliki karakteristik bangsa low trust. Dengan
alasan ini saja UGM sudah memiliki landsan hukum yang cukup kuat untuk mengajukan
somasi kepada seorang penghasut.
Kedua, penulis secara subyektif menyimpulkan bahwa kadar pengetahuan sesorang
ditentukan oleh kelulusannya dari SMU. Kalau argumentasi ini diterima, maka logikanya
tingkat pengetahuan siswa SMU pada saat menempuh ujian UM-UGM secara signifikan
akan berbeda dengan ketika dia menempuh Ujian Akhir Nasional (UAN). Apakah
pengetahuan siswa memang berbeda secara signifikan dalam waktu tiga minggu?
Mungkin hanya penulis yang dapat menjelaskan logika dari kesimpulannya itu.
Instrumen tes yang digunakan dalam UM-UGM dikembangkan dengan sengaja untuk
mengatasi kelemahan dari instrument tes yang digunakan Seleksi Masuk Mahasiswa Baru
(SPMB) yang hanya mampu mengukur pengetahuan akademik yang dikuasai (academic
achievements) oleh para pendaftar. Pengukuran academic achievement semata-mata tidak
menunjukkan potensi akademik dan bakat para calon. Padahal, kami menginginkan, atas
dasar pemahaman para ahli psikologi kami, penerimaan calon mahasiswa tidak hanya
* Sofian Effendi, Guru Besar Universitas Gadjah Mada.
2
didasarkan semata-mata pada ukuran pengetahunan yang dikuasainya, tetapi juga atas
dasar potensi akademik, bakat serta aspek-aspek non-cognitif lainnya. Memang kami
sadar betul bahwa dalam seleksi massal dan tertulis, sukar diperoleh informasi yang sahih
mengenai aspek non-kognitif tersebut. Tetapi kan lebih baik daripada keputusan untuk
menerima atau menolak calon hanya didasarkan atas kriteria yang tidak lengkap, apalagi
tidak akurat?
Ketiga, lebih membingungkan lagi argumentasi penulis ketika dia serta merta mengaitkan
sistem seleksi UM-UGM ini dengan biaya pendidikan yang berlaku di UGM. Sistem
seleksi dan biaya pendidikan adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya memang
menjamin terlaksananya pendidikan tinggi yang berkualitas. Dengan sistem seleksi yang
lebih baik diharapkan akan dapat terjaring calon mahasiswa yang lebih berkualitas.
Dengan tersedianya dana, dapat diningkatkan kualitas proses pembelajaran di UGM
sehingga dapat mengejar ketertinggalan dari PT luar negeri.
Sekedar informasi, menurut kalkulasi yang dilakukan oleh fakultas-fakultas di
lingkungan UGM, pada tahun 2003 biaya pendidikan rata-rata adalah Rp. 11 juta per
mahasiswa per tahun. Biaya pendidikan ini tidak mungkin dibebankan sepenuhnya
kepada mahasiswa. Pada Tahun Akademik 2003, rata-rata SPP dan BOP yang
dibebankan pada mahasiswa adalah antara Rp. 0,5 – 0,75 juta per semester atau antara
Rp. 1 – 1,5 juta per tahun, Selisihnya disubsidi oleh pemerintah dan universitas, sebesar
85 sampai 90 persen, tergantung fakultasnya. Subsidi tersebut diberikan kepada semua
mahasiswa tanpa memandang kemampuan ekonomi orang tua, padahal, 70 persen
mahasiswa UGM berasal dari keluarga mampu.
Kalau dibandingkan dengan biaya di perguruan tinggi yang lebih maju, memang biaya
pendidikan tinggi di negara kita relatif rendah. Kalau biaya pendidikan di UGM diberi
indeks 1, misalnya, di Universitas Malaysia indeks biaya pendidikan adalah 14, di
Universitas Nagoya, 19, di Universitas AMIS, Arab Saudi, sudah mencapai 29, dan di
state universities di Amerika mencapai 20-21. Perbedaannya begitu besar karena gaji
dosen di PT Indonesia hanya 1/20 gaji dosen di negara jiran. Universitas di sana pun
dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan, fasilitas penelitian dan layanan telekomunikasi
dan interkoneksi jaringan internet yang amat baik. Semua fasilitas yang baik itu
memerlukan biaya yang besar. Karena gaji yang amat rendah, sebagian besar dosen di
PTN hanya bekerja satu dua hari di kampusnya dan sisanya pergi ke mana-mana mencari
tambahan pendapatan dengan menelantarkan tugas dan kewajibannya di kampus.
Fasilitas pun hanya tersedia sekadarnya sehingga tidak mampu mendukung kegiatan
akademik berkualitas tinggi.
Keempat, sebagai dosen IPB yang pernah menuntut ilmu di Negara Sakura, penulis tentu
faham sekali bahwa pendidikan tinggi berkualitas memerlukan biaya yang amat besar.
Jadi pasti mahal. Di negara yang berkemampuan ekonomi tinggi, Pemerintah lah yang
menanggung sebagian besar biaya pendidikan. Mahasiswa biasanya hanya menanggung
25-30 persen dari biaya pendidikan. Di negara kita, kontribusi masyarakat dalam
pembiayaan pendidikan hampir mencapai 20 persen, tetapi jangan lupa, biaya pendidikan
3
kita adalah 1/14 dari biaya di negara tetangga. Ini lah salah satu sebab utama rendahnya
kualitas akademik di PT kita.
Sebelum penulis menyimpulkan dan menyebarkan isu atas dasar informasi yang salah
kepada masyarakat, cobalah bandingkan biaya pendidikan di beberapa lembaga
pendidikan menengah atas dan PT. Apa biaya pendidikan yang dibebankan oleh UGM
memang outrageous? Jangan-jangan di IPB biayanya lebih tinggi. Lebih tidak
proporsional cara penulis membentuk opini public dengan menghubungkan diskusi
tentang biaya pendidikan di UGM dengan dua artikel yang dimuat di Kompas edisi 23
April. Kedua artikel tersebut membicarakan masalah berbeda yang tidak terkait sama
sekali dengan masalah pembiayaan pendidikan apalagi pendidikan tinggi. Sebagai
seorang ilmuwan seharusnya bung Winarso lebih teliti lah menggunakan referensi.
Jangan melakukan disinformasi kepada publik apalagi dengan tujuan sekedar mencari
popularitas.
Kelima, sebagai Ketua Komisi Pendidikan di lembaga pendidikan tinggi yang terhormat
mestinya penulis lebih teliti dalam menyampaikan informasi dan kalkulus pendidikannya
kepada publik. Entah apa motifnya, penulis dengan kadar subyektivitas yang tinggi
membuat konklusi yang menyesatkan publik. Hanya dengan berandai-andai, penulis
menyimpulkan bahwa PTN yang menyelenggarakan seleksi masuk secara mandiri dapat
memperoleh keuntungan sekitar 60 persen dari biaya seleksi masuk yang dipungutnya.
Dari mana penulis sampai pada kesimpulan tersebut, wallahualam. Padahal dalam
kenyataannya UGM dapat menyelenggarakan UM di 16 propinsi hanya karena dukungan
finansial dari para alumninya yang peduli. Kenyataannya, penyelengaraan SPMB dengan
biaya pendaftaran lebih tinggi selama bertahun-tahun hanya sanggup mencapai titik
impas.
Akhirnya, sebagai sesama warga kampus yang tahu sopan santun dan kode etik
penulisan, saya hanya mendoakan semoga bung Winarso selalu memiliki kejernihan
berfikir, lebih cerdas analisisnya dan lebih konstruktif usulannya. Hanya dengan cara
demikian kita dapat memberi kontribusi positif bagi pembangunan pendidikan tinggi.
Selamat merayakan Hardiknas.
Yogyakarta, 2 Mei 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar